Saturday, May 13, 2017

CLOUD9 - Chapter 0: AWAL MULA (Indonesian Version)



Chapter 0
Awal Mula


Sé meneguk lagi gelas ke tiga kopinya. Dia tidak biasa begini tetapi sesuatu yang rumit sedang mengganjal kepalanya. Dia masih belum bisa melupakan kejadian membingungkan tadi pagi. Semuanya seakan-akan tiada henti menari-nari di depan matanya. Sé ingin tertidur pulas tetapi setiap kali ia memejamkan matanya yang dilihatnya masih bayangan sayap perak itu lagi—sayap perak berlumur darah—dan bau anyir memualkan yang membuat hidung maupun bulu romanya berjengit.

Sé melempar pandangan kosong ke luar jendela. Gelombang sedang ganas dan percikan air laut dengan garangnya memukul dinding batu karang. Cahaya remang bulan separo menembus border jendela bersama gigitan angin dingin bulan September.

“Besok akan hujan,” ucapnya datar.

Di lantai kamar berpermadani merah hati lembab terbaring pingsan sesosok tubuh. Laki-laki itu mengenakan apron berwarna putih tulang. Tangan, lengan, dan beberapa bagian wajahnya ditutupi percikan darah yang sudah mengering. Dia memakai celana jins selutut tanpa atasan kecuali tali apron kucel yang juga dipenuhi bercak darah.

Sé menatap sedih laki-laki itu. Dia sudah pingsan seharian dan sudah tergeletak disana sejak tadi sore. Sé sendiri yang menggotongnya ke sini dengan lengan kurusnya yang berwarna pucat dan tubuh jangkungnya yang tidak bisa dibilang lemah.

Sé meneguk lagi sisa kopinya. Dia kemudian meletakkan cangkir ketiga di meja kayu dekat jendela. Matanya terlihat lelah tetapi bukan nanar.

“Kau akan membiarkannya tidur di sini?” tanya laki-laki jangkung lain yang baru saja muncul dari pintu kamar.

Sé mengangguk pelan. Dia benar-benar kelelahan.

“Kita harus pergi sebelum fajar,” ucapnya. “Mereka akan segera menemukan kita begitu siang datang. Kondisi Sú membuat kita lebih gampang ditemukan. Lagi pula tempat ini sudah mulai tidak aman.

“Aku sudah mengitari area ini dua kali. Bagian bawah tebing cukup curam dan mustahil mereka memanjat batu karang pada cuaca begini. Hutan di bagian selatan juga masih cukup sunyi. Aku dan Bac akan berjaga di depan. Kau tidurlah satu atau dua jam. Wajahmu terlihat parah. Biar Min yang menjaga Sú.”

Sé mengangguk pasrah. Dia kemudian berbaring di sisi Sú—Siúirtán, menjadikan kedua lengannya sebagai bantal dan menatap nanar ke langit-langit kayu berkabut.

“Yúl!” ujarnya.

“Ung,” jawab Iúileán—si jangkung yang tadi muncul di pintu.

“Kenapa mereka begitu membenci kita?” tanya Sé tanpa berpaling dari jaring laba-laba abu-abu di langit-langit.

“Aku tidak tahu,” jawab Iúileán. “Mereka sudah begitu sejak aku punya ingatan. Min adalah yang pertama dan kuharap kau menjadi yang terakhir,” sambungnya muram.

Iúileán berperawakan paling jangkung di kelompok mereka—lebih jangkung dari pada Sé yang masih-bisa-tumbuh. Dia berambut abu-abu perak yang memang sudah begitu sejak lahir meskipun alis dan bulu matanya berwarna hitam. Dibandingkan dengan Sé, Iúileán memiliki tubuh yang lebih berisi. Dia juga yang paling cerewet di kelompoknya.

Sé sendiri baru berumur sembilan belas. Di sini, dialah yang paling muda. Pita suaranya bermasalah dan itu membuat suaranya selalu terdengar serak seperti baru saja menangis. Kenyataannya, Sé memang—yang paling—sering menangis.

Siúirtán—laki-laki yang terbaring pingsan—adalah pemimpin mereka atau paling tidak begitu mereka menyebutnya. Pada kenyataannya, Siúirtán-lah yang mengumpulkan mereka semua. Dia menghabiskan tujuh tahun lebih dalam pelarian sebelum bertemu Min dan berdua—Siúirtán dan Min—mereka mendirikan kelompok ini. Siúirtán juga yang paling mengerti mengapa semua ini terjadi dan mengapa orang-orang itu memburu mereka seperti binatang.

Min—Biniáimin—adalah yang paling tua di antara mereka. Dia enam bulan lebih tua dari pada Siúirtán dan juga merupakan yang pertama kali diserang. Meskipun demikian, Biniáimin tidak lebih dewasa daripada Siúirtán. Itu juga barangkali, mengapa mereka lebih mendengarkan Siúirtán. Akan tetapi, Biniáimin adalah yang paling kuat secara fisik. Ia juga memiliki postur paling bagus.

Baccán dan Deiter merupakan dua anggota lain yang super jahil. Mereka adalah dua dari empat personil band indie MY BAD yang sedang hiatus dan kehilangan popularitas. Baccán, biasa dipanggil Bac dan Deiter—Daí—memiliki sifat kanak-kanak yang sangat kentara. Meskipun demikian, keduanya merupakan satu-satunya hiburan di kelompok beranggotakan sembilan orang ini.

Selain Sé, Iúileán, Siúirtán, Biniáimin, Baccán, dan Deiter. Mereka punya Jožka yang selalu mengantuk, Donovan yang jago karate, dan Laoidheach yang selalu tersesat. Ketiganya terpisah dari kelompok ketika Siúirtán diserang dan semua orang kehilangan akal. Mereka berjanji akan bertemu lagi pada hari ke lima setelah bulan muda. Itu adalah cara kelompok ini berkumpul setiap kali mereka terpisah. Dan penyerangan kemarin malam adalah yang terparah nomor satu setelah ledakan besar tahun lalu.

+++++

Gerimis mulai turun ketika langit malam mulai berwarna. Sé adalah yang paling akhir dibangunkan bahkan setelah Biniáimin menggendong Siúirtán yang sekarat di punggungnya. Deiter dan Baccán sedang menaburkan garam dan menyemprotkan air laut ke seluruh pojok kamar. Itu adalah cara mereka menghilangkan jejak dari para pemburu yang memiliki penciuman seperti anjing dan mata seperti kelelawar. Iúileán menggotong sendiri ransel miliknya dan milik Siúirtán yang dijejalkan berdempetan di punggungnya.

“Kita harus segera bergerak!” ujar Iúileán dengan nada rendah yang terdengar jelas.

Sé mengangguk. Dia kemudian menyambar cangkir semalam dan menjejalkannya secara paksa ke dalam ranselnya yang berwarna kuning kenari.

“Bac!” panggil Deiter. “Ayo berangkat!”

Baccán berhenti menabur garam. Ia menggangguk mantap sebelum menangkap ransel berwarna toska dari Sé.

“Ikuti daun maple berwarna kuning. Daí dan aku akan keluar duluan. Kalian bergerak setelah dua puluh lima menit.”

Iúileán, Sé dan Biniáimin mengangguk serentak.

Baccán dan Deiter tersenyum datar. Keduanya menjejalkan tabung silindris berisi garam dan spray air laut ke dalam ransel masing-masing sebelum secara sembunyi-sembunyi keluar. Hampir tidak mengeluarkan bunyi apapun.

Deiter sudah mengumpulkan cukup banyak daun maple kuning di antara daun kering di sekitar gubuk. Mereka menggunakannya sebagai penunjuk arah. Deiter dan Baccán akan meletakkan daun tersebut di beberapa tempat menuju persembunyian berikutnya. Mereka tidak bisa mengambil resiko bergerak bersama sama. Siúirtán memberi tahu mereka bahwa para pemburu lebih gampang mendeteksi kelompok besar daripada berpasangan dan itulah yang mereka lakukan setiap kali berpindah tempat.

“Minum?” tanya Iúileán.

“Tidak, trims,” jawab Biniáimin.

“Aku mau,” jawab Sé.

Iúileán mengeluarkan sesuatu yang seperti tabung dari ranselnya. Ia kemudian memberikannya kepada Sé.

“Kau akan lebih baik,” ujar Iúileán.

Sé tidak menjawab. Dia langsung meminum apapun itu.

“Lebih baik,” balas Sé.

Mereka berempat bergerak ketika gerimis mulai lebat. Sé membantu Iúileán menyelimuti Siúirtán dengan jaket tebal yang lebih hangat. Iúileán dan Se, masing-masing menyandang dua ransel karena mereka tidak mungkin membiarkan Biniáimin membawa ranselnya sendiri apalagi Siúirtán.

Mereka menemukan tanda daun maple yang ditinggalkan Deiter dan Baccán. Tanda itu mengarah ke pegunungan berkabut di tenggara. Mereka melewati pagi yang lembab di antara hutan becek dan rawa-rawa dangkal yang penuh dengan lintah dan bekicot. Mereka sempat berhenti sejenak menjelang tengah hari di sebuah lereng berbatu yang membuat bisikan bergaung menjadi desahan yang diperkeras lima kali lipat.

Biniáimin kelihatan berantakan. Dia sudah seharian menggendong Siúirtán yang masih lelap. Iúileán ingin menggantikannya tapi Biniáimin menolaknya.

“Temani saja Sé!” bisiknya tanpa suara. “Dia terlihat murung dan khawatir.”

Mereka bertiga makan siang dalam diam dan waspada. Iúileán memiliki pendengaran paling tajam. Ia bisa mendengar suara berisik sekecil apapun di tempat paling bingar sekalipun. Dan Min memiliki pandangan yang luar biasa jeli. Matanya seperti lensa kamera super zoom yang mampu menemukan detil-detil terjauh bahkan dalam cahaya temaram. Mereka berdua membuat Sé merasa cukup aman dan dia sangat berterimakasih karenanya.

Hujan berhenti ketika mereka mendekati pinggang gunung. Deiter dan Baccán sudah menunggu mereka di rumah aman kedua. Sebuah liang batu sempit di antara dinding tebing terjal. Keduanya sedang memanaskan air hujan yang mereka peras dari mantel serap-air yang selalu dipakai Baccán setiap kali hujan turun.

“Kita akan tinggal di sini selama beberapa hari,” ujar Baccán. “Aku dan Daí sudah menelusuri liang ini dan nihil.”

“Kita harus merawat Sú. Dia harus segera bangun,” sambung Deiter. “Aku sudah memberi tanda. Tempat ini cukup gampang dicari. Kita bisa melihat ke segala arah dan yang lain akan mudah menemukan kita di sini.”

“Bagaimana dengan mereka?” tanya Sé.

“Kita harus tetap waspada. Aku akan membuat tanda. Lé, Jo, dan Doe pasti bisa menemukan kita disini. Mereka juga tidak bodoh-bodoh amat,” jawab Iúileán sambil menurunkan kedua ransel yang disandangnya. “Semoga besok tidak berkabut,” sambungnya.

Biniáimin yang datang kemudian sambil tersengal-sengal membaringkan Siúirtán di lantai gua. Sé sudah mempersiapkan bantal dan alasnya.

“Tidak ada permadani di sini,” ucap Sé.

“Apakah Sú akan baik-baik saja?” tanya Baccán. “Dia terlihat dingin dan—sekarat.”

“Dia akan selamat!” balas Iúileán tegas. “Kita harus membersihkan lukanya dan memandikannya dengan air panas. Aku yakin—sayap—itu akan tumbuh kembali,” sambungnya tidak yakin.

Tidak ada yang menjawab. Semuanya menatap sedih Siúirtán—kecuali Sé yang memang tidak mendengarkan Iúileán karena sedang sibuk mempersiapkan tempat tidur yang nyaman untuk Siúirtán.

“Aku harus keluar,” ucap Iúileán akhirnya. Dia membuka kemejanya yang basah kuyup dan melemparnya ke onggokan batu besar di sudut. Badannya di penuhi tato dan salah satu yang sangat besar dan runcing di punggungnya mendadak mengelupas keluar dari kulitnya seketika membentuk sayap besar berwarna abu-abu-perak yang sama dengan warna rambutnya.

“Jangan sampai terlihat!” ujar Biniáimin lemah, tetapi Iúileán sudah melesat jauh keluar dari liang goa batu mereka.

____________________________________________________________________________________________
PS: Cloud9 is a temporary title. I'll get the new official title later. The story will be written both in Bahasa Indonesia and English.

No comments:

Post a Comment

Random Activities from Random People

Assembleh august 31st part 2 from Ludo Strait