Chapter 0
Awal Mula
Sé meneguk lagi gelas ke
tiga kopinya. Dia tidak biasa begini tetapi sesuatu yang rumit sedang
mengganjal kepalanya. Dia masih belum bisa melupakan kejadian membingungkan
tadi pagi. Semuanya seakan-akan tiada henti menari-nari di depan matanya. Sé
ingin tertidur pulas tetapi setiap kali ia memejamkan matanya yang dilihatnya masih
bayangan sayap perak itu lagi—sayap perak berlumur darah—dan bau anyir
memualkan yang membuat hidung maupun bulu romanya berjengit.
Sé melempar pandangan kosong
ke luar jendela. Gelombang sedang ganas dan percikan air laut dengan
garangnya memukul dinding batu karang. Cahaya remang bulan separo menembus
border jendela bersama gigitan angin dingin bulan September.
“Besok akan hujan,”
ucapnya datar.
Di lantai kamar
berpermadani merah hati lembab terbaring pingsan sesosok tubuh. Laki-laki itu
mengenakan apron berwarna putih tulang. Tangan, lengan, dan beberapa
bagian wajahnya ditutupi percikan darah yang sudah mengering. Dia memakai
celana jins selutut tanpa atasan kecuali tali apron kucel yang juga dipenuhi
bercak darah.
Sé menatap sedih laki-laki
itu. Dia sudah pingsan seharian dan sudah tergeletak disana sejak tadi sore. Sé
sendiri yang menggotongnya ke sini dengan lengan kurusnya yang berwarna pucat
dan tubuh jangkungnya yang tidak bisa dibilang lemah.
Sé meneguk lagi sisa kopinya.
Dia kemudian meletakkan cangkir ketiga di meja kayu dekat jendela. Matanya
terlihat lelah tetapi bukan nanar.
“Kau akan membiarkannya
tidur di sini?” tanya laki-laki jangkung lain yang baru saja muncul dari pintu
kamar.
Sé mengangguk pelan. Dia
benar-benar kelelahan.
“Kita harus pergi sebelum
fajar,” ucapnya. “Mereka akan segera menemukan kita begitu siang datang. Kondisi
Sú membuat kita lebih gampang ditemukan. Lagi pula tempat ini sudah mulai tidak
aman.
“Aku sudah mengitari area
ini dua kali. Bagian bawah tebing cukup curam dan mustahil mereka memanjat batu
karang pada cuaca begini. Hutan di bagian selatan juga masih cukup sunyi. Aku
dan Bac akan berjaga di depan. Kau tidurlah satu atau dua jam. Wajahmu terlihat
parah. Biar Min yang menjaga Sú.”
Sé mengangguk pasrah. Dia
kemudian berbaring di sisi Sú—Siúirtán, menjadikan kedua lengannya sebagai
bantal dan menatap nanar ke langit-langit kayu berkabut.
“Yúl!” ujarnya.
“Ung,” jawab Iúileán—si
jangkung yang tadi muncul di pintu.
“Kenapa mereka begitu
membenci kita?” tanya Sé tanpa berpaling dari jaring laba-laba abu-abu di
langit-langit.
“Aku tidak tahu,” jawab Iúileán.
“Mereka sudah begitu sejak aku punya ingatan. Min adalah yang pertama dan
kuharap kau menjadi yang terakhir,” sambungnya muram.
Iúileán berperawakan
paling jangkung di kelompok mereka—lebih jangkung dari pada Sé yang masih-bisa-tumbuh.
Dia berambut abu-abu perak yang memang sudah begitu sejak lahir meskipun alis
dan bulu matanya berwarna hitam. Dibandingkan dengan Sé, Iúileán memiliki tubuh
yang lebih berisi. Dia juga yang paling cerewet di kelompoknya.
Sé sendiri baru berumur
sembilan belas. Di sini, dialah yang paling muda. Pita suaranya bermasalah dan
itu membuat suaranya selalu terdengar serak seperti baru saja menangis.
Kenyataannya, Sé memang—yang paling—sering menangis.
Siúirtán—laki-laki yang
terbaring pingsan—adalah pemimpin mereka atau paling tidak begitu mereka
menyebutnya. Pada kenyataannya, Siúirtán-lah yang mengumpulkan mereka semua.
Dia menghabiskan tujuh tahun lebih dalam pelarian sebelum bertemu Min dan
berdua—Siúirtán dan Min—mereka mendirikan kelompok ini. Siúirtán juga yang
paling mengerti mengapa semua ini terjadi dan mengapa orang-orang itu memburu
mereka seperti binatang.
Min—Biniáimin—adalah yang paling
tua di antara mereka. Dia enam bulan lebih tua dari pada Siúirtán dan juga
merupakan yang pertama kali diserang. Meskipun demikian, Biniáimin tidak lebih
dewasa daripada Siúirtán. Itu juga barangkali, mengapa mereka lebih
mendengarkan Siúirtán. Akan tetapi, Biniáimin adalah yang paling kuat secara
fisik. Ia juga memiliki postur paling bagus.
Baccán dan Deiter
merupakan dua anggota lain yang super jahil. Mereka adalah dua dari
empat personil band indie MY BAD yang sedang hiatus dan
kehilangan popularitas. Baccán, biasa dipanggil Bac dan Deiter—Daí—memiliki
sifat kanak-kanak yang sangat kentara. Meskipun demikian, keduanya merupakan
satu-satunya hiburan di kelompok beranggotakan sembilan orang ini.
Selain Sé, Iúileán, Siúirtán,
Biniáimin, Baccán, dan Deiter. Mereka punya Jožka yang selalu mengantuk, Donovan
yang jago karate, dan Laoidheach yang selalu tersesat. Ketiganya terpisah dari
kelompok ketika Siúirtán diserang dan semua orang kehilangan akal. Mereka
berjanji akan bertemu lagi pada hari ke lima setelah bulan muda. Itu adalah
cara kelompok ini berkumpul setiap kali mereka terpisah. Dan penyerangan kemarin
malam adalah yang terparah nomor satu setelah ledakan besar tahun lalu.
+++++
Gerimis mulai turun ketika
langit malam mulai berwarna. Sé adalah yang paling akhir dibangunkan bahkan
setelah Biniáimin menggendong Siúirtán yang sekarat di punggungnya. Deiter dan
Baccán sedang menaburkan garam dan menyemprotkan air laut ke seluruh pojok
kamar. Itu adalah cara mereka menghilangkan jejak dari para pemburu yang
memiliki penciuman seperti anjing dan mata seperti kelelawar. Iúileán menggotong
sendiri ransel miliknya dan milik Siúirtán yang dijejalkan berdempetan di
punggungnya.
“Kita harus segera
bergerak!” ujar Iúileán dengan nada rendah yang terdengar jelas.
Sé mengangguk. Dia
kemudian menyambar cangkir semalam dan menjejalkannya secara paksa ke dalam ranselnya
yang berwarna kuning kenari.
“Bac!” panggil Deiter. “Ayo
berangkat!”
Baccán berhenti menabur
garam. Ia menggangguk mantap sebelum menangkap ransel berwarna toska dari Sé.
“Ikuti daun maple
berwarna kuning. Daí dan aku akan keluar duluan. Kalian bergerak setelah dua
puluh lima menit.”
Iúileán, Sé dan Biniáimin
mengangguk serentak.
Baccán dan Deiter
tersenyum datar. Keduanya menjejalkan tabung silindris berisi garam dan spray
air laut ke dalam ransel masing-masing sebelum secara sembunyi-sembunyi keluar.
Hampir tidak mengeluarkan bunyi apapun.
Deiter sudah mengumpulkan cukup
banyak daun maple kuning di antara
daun kering di sekitar gubuk. Mereka menggunakannya sebagai penunjuk arah.
Deiter dan Baccán akan meletakkan daun tersebut di beberapa tempat menuju
persembunyian berikutnya. Mereka tidak bisa mengambil resiko bergerak bersama
sama. Siúirtán memberi tahu mereka bahwa para pemburu lebih gampang mendeteksi
kelompok besar daripada berpasangan dan itulah yang mereka lakukan setiap kali
berpindah tempat.
“Minum?” tanya Iúileán.
“Tidak, trims,” jawab Biniáimin.
“Aku mau,” jawab Sé.
Iúileán mengeluarkan
sesuatu yang seperti tabung dari ranselnya. Ia kemudian memberikannya kepada Sé.
“Kau akan lebih baik,”
ujar Iúileán.
Sé tidak menjawab. Dia
langsung meminum apapun itu.
“Lebih baik,” balas Sé.
Mereka berempat bergerak
ketika gerimis mulai lebat. Sé membantu Iúileán menyelimuti Siúirtán dengan
jaket tebal yang lebih hangat. Iúileán dan Se, masing-masing menyandang dua
ransel karena mereka tidak mungkin membiarkan Biniáimin membawa ranselnya
sendiri apalagi Siúirtán.
Mereka menemukan tanda
daun maple yang ditinggalkan Deiter
dan Baccán. Tanda itu mengarah ke pegunungan berkabut di tenggara. Mereka
melewati pagi yang lembab di antara hutan becek dan rawa-rawa dangkal yang penuh
dengan lintah dan bekicot. Mereka sempat berhenti sejenak menjelang tengah hari
di sebuah lereng berbatu yang membuat bisikan bergaung menjadi desahan yang
diperkeras lima kali lipat.
Biniáimin kelihatan
berantakan. Dia sudah seharian menggendong Siúirtán yang masih lelap. Iúileán ingin
menggantikannya tapi Biniáimin menolaknya.
“Temani saja Sé!” bisiknya
tanpa suara. “Dia terlihat murung dan khawatir.”
Mereka bertiga makan siang
dalam diam dan waspada. Iúileán memiliki pendengaran paling tajam. Ia bisa
mendengar suara berisik sekecil apapun di tempat paling bingar sekalipun. Dan Min
memiliki pandangan yang luar biasa jeli. Matanya seperti lensa kamera super
zoom yang mampu menemukan detil-detil terjauh bahkan dalam cahaya temaram. Mereka
berdua membuat Sé merasa cukup aman dan dia sangat berterimakasih karenanya.
Hujan berhenti ketika
mereka mendekati pinggang gunung. Deiter dan Baccán sudah menunggu mereka di
rumah aman kedua. Sebuah liang batu sempit di antara dinding tebing terjal.
Keduanya sedang memanaskan air hujan yang mereka peras dari mantel serap-air
yang selalu dipakai Baccán setiap kali hujan turun.
“Kita akan tinggal di sini
selama beberapa hari,” ujar Baccán. “Aku dan Daí sudah menelusuri liang ini dan
nihil.”
“Kita harus merawat Sú.
Dia harus segera bangun,” sambung Deiter. “Aku sudah memberi tanda. Tempat ini
cukup gampang dicari. Kita bisa melihat ke segala arah dan yang lain akan mudah
menemukan kita di sini.”
“Bagaimana dengan mereka?”
tanya Sé.
“Kita harus tetap waspada.
Aku akan membuat tanda. Lé, Jo, dan Doe pasti bisa menemukan kita disini.
Mereka juga tidak bodoh-bodoh amat,” jawab Iúileán sambil menurunkan kedua
ransel yang disandangnya. “Semoga besok tidak berkabut,” sambungnya.
Biniáimin yang datang
kemudian sambil tersengal-sengal membaringkan Siúirtán di lantai gua. Sé sudah
mempersiapkan bantal dan alasnya.
“Tidak ada permadani di
sini,” ucap Sé.
“Apakah Sú akan baik-baik
saja?” tanya Baccán. “Dia terlihat dingin dan—sekarat.”
“Dia akan selamat!” balas Iúileán
tegas. “Kita harus membersihkan lukanya dan memandikannya dengan air panas. Aku
yakin—sayap—itu akan tumbuh kembali,” sambungnya tidak yakin.
Tidak ada yang menjawab.
Semuanya menatap sedih Siúirtán—kecuali Sé yang memang tidak mendengarkan Iúileán
karena sedang sibuk mempersiapkan tempat tidur yang nyaman untuk Siúirtán.
“Aku harus keluar,” ucap Iúileán
akhirnya. Dia membuka kemejanya yang basah kuyup dan melemparnya ke onggokan
batu besar di sudut. Badannya di penuhi tato dan salah satu yang sangat besar
dan runcing di punggungnya mendadak mengelupas keluar dari kulitnya seketika
membentuk sayap besar berwarna abu-abu-perak yang sama dengan warna rambutnya.
“Jangan sampai terlihat!”
ujar Biniáimin lemah, tetapi Iúileán sudah melesat jauh keluar dari liang goa
batu mereka.
____________________________________________________________________________________________
PS: Cloud9 is a temporary title. I'll get the new official title later. The story will be written both in Bahasa Indonesia and English.
No comments:
Post a Comment