Sé—Chapter 1
Sebelum Fajar
Sé terbangun dari mimpi
buruknya yang biasa—dua tahun yang lalu sebelum kejadian berdarah di lembah
Anville. Wajahnya berantakan dan matanya melotot merah—lelah. Seluruh tubuhnya
bergetar hebat dan keringat dingin mengalir deras di pelipisnya yang cekung dan
pasi.
Sé sudah memimpikan hal
serupa selama bertahun-tahun sejak ia berumur lima belas. Mimpi buruknya selalu
tentang langit-langit berpilar tinggi dan jendela kaca tertutup tirai merah;
berlari di tengah hutan—tersengal-sengal—tanpa tahu mengapa ataupun dikejar
siapa atau apa; bertemu dengan gerombolan remaja laki-laki berwajah asing; atau
memandang langit yang penuh dengan burung gagak bersuara parau. Semuanya
berulang—bergilir secara acak setiap beberapa waktu sekali.
Sé bangkit dari tempat
tidurnya. Menguap sedikit, kemudian mengacak-acak rambutnya. Sebelum akhirnya
bergerak malas ke bibir jendela.
“Masih jam tiga pagi,”
ucapnya pada diri sendiri.
Sé menguap sekali lagi. Ia
mendorong bibir jendela dengan lembut, membiarkan hawa dingin menggerogoti
kamarnya yang penuh dengan buku-buku yang sudah lama tidak dibaca. Matanya
masih merah tetapi tidak mengantuk. Sé tidak bisa kembali tidur dalam kondisi
begini. Dia takut mimpi buruknya akan terulang lagi. Alih-alih, Sé memanjat
border jendela, bertengger disana seperti burung hantu yang sedang mengincar
tikus atau bayi musang.
Kamarnya adalah ruangan
pengap yang dilapisi wallpaper biru tua berbintik-bintik hitam. Ada sebuah meja
belajar kayu di sisi jendela dan dua buah rak buku tua bersandar di kedua sisi
yang saling berhadapan. Tempat tidurnya adalah tatami sebetis yang cukup kecil
dan pendek; membuat Sé harus meringkuk seperti koala ketika berbaring di
atasnya.
+++++
Bel jam enam berdentang
sangat keras. Langit sudah mulai memerah dan ibu-ibu tetangga pun mulai
berkeliaran. Entah untuk mengambil surat kabar pagi dan botol susu, menyiram
bunga, atau hanya sekedar menjulurkan lehernya keluar jendela untuk menyapa
ibu-ibu lain yang melakukan hal serupa.
Sé masih nongkrong
dengan posisi yang sama sejak semalam, dengan kedua lengan berlipat di lutut
dan kepala yang terkulai lelah berbantal lengan. Dia cukup sering tertidur di
situ dan selalu begitu. Dia bertengger begitu di border jendela tertinggi rumah
nomor sembilan—sebuah bangunan tua empat lantai yang pondasinya terbuat dari
kayu. Sé mengenakan sweater merah muda berbulu. Ia juga memakai celana pendek
merah bata. Begini, dia terlihat seperti burung kukuk penanda alarm di jam
dinding.
Ketika lonceng jam tujuh
berdentang dan cahaya matahari mulai membakar, Sé terbangun dengan satu kali
ayunan besar yang bisa membuat siapapun terjungkal. Tubuhnya mengayun kedepan
tetapi sepersekian detik kemudian tangannya yang tadi dilipat di lututnya
menyambar border jendela dengan sigap lalu berayun kebelakang mendorong
tubuhnya masuk ke kamar dan mendarat dengan dua kaki tepat di depan jendela. Ia
mendengar suara ibunya berteriak memanggil dari lorong lantai dua. Sé menyahut
dua kali dengan suara parau yang tidak dibuat-buat.
Butuh waktu satu jam tiga
puluh empat menit bagi Sé untuk turun ke ruang makan. Ibunya sedang merajut
ketika Sé muncul dan menyapanya dengan senyum seringai minta maaf yang tidak
ditanggapi dengan ramah.
“Dewasalah!” pinta ibunya
ketika Sé menangkap lemparan roti dari pemanggang—dengan mulutnya.
“Awu bawu tuyuh bewas,”
jawabnya dengan mulut berisi.
Ibunya terlihat kesal
tetapi Sé sama sekali mengabaikannya.
Sé tidak seperti saudara
kembarnya. Dia tidak penurut. Dia juga tidak suka mengalah. Ibunya selalu
membanding-bandingkan Sé dengan kakak kembarnya yang bahkan tidak memiliki
kesamaan fitur fisik. Sé tinggi, putih, dan kurus sementara kakak kembarnya
tidak tinggi, tidak sepucat Se, dan lebih berisi. Mereka tidak seperti saudara
kembar—mereka bahkan tidak seperti saudara sama sekali.
“Mana kakak?” tanyanya.
“Di kamarnya,” jawab
ibunya. “Membaca.”
“Ung,” jawab Sé.
“Ayahmu menyuruhmu potong
rambut. Dia bilang kau terlihat seperti—gagak,” ujar ibunya.
“Gagak—itu keren,” jawab Sé
konyol. “Aku bahkan punya suara serak.”
“Potong rambutmu! Jangan
banyak ulah. Kita diundang makan malam di rumah Pak Poe. Jangan buat ayahmu
malu.”
“Tapi aku tak kenal Pak
Poe,” jawab Sé sambil menuang sereal ke piring.
“Dia klien ayahmu. Berapa
kali harus ku bilang agar kau memperhatikan apa yang kami katakan?” balas
ibunya ketus. “Kita bertiga akan pergi ke sana malam ini. Aku sudah menyiapkan
pakaianmu. Jangan melakukan hal-hal bodoh dan tolong lepaskan gelang aneh itu,”
balas ibunya tanpa berhenti merajut motif anak ikan di sweeter yang baru
setengah jadi.
“Kenapa tidak kakak saja
yang ikut?” tanya Sé.
“Dia ada ujian. Kakakmu
harus belajar supaya tidak dapat nilai memalukan.”
“Aku juga ujian!” protes Sé.
“Aku punya PR kalkulus juga, dan menulis laporan, dan deadline esai Kimia yang sama
sekali belum kusentuh.”
“Kau bisa melakukannya nanti,”
jawab ibunya enteng. “Semua orang tahu kau begadang sepanjang malam. Kau bisa
membuat PR, menulis laporan, atau mengerjakan esai Kimia alih-alih nongkrong
di jendela sampai pagi.
“Ibu-ibu tetangga mulai
membicarakanmu. Mereka pikir kau aneh. Bukankah sudah waktunya kau bersikap
lebih normal? Aku sampai harus menyembunyikan muka ketika ibu-ibu itu
berbisik-bisik membicarakanmu. Kata mereka, aku dan ayahmu yang bodoh. Mereka
bilang kami tidak becus, tetapi tentu saja itu sama sekali tidak benar,” jelas
ibunya panjang lebar.
Sé berjalan mendekati
konter. Ia mencuci tangannya di wastafel sementara ibunya masih terus mengoceh
tentang bagaimana seharusnya dia bersikap.
Sé bukanlah anak pembangkang.
Dia memang tidak penurut tetapi juga tidak banyak menuntut. Dibandingkan dengan
kakaknya pun Sé tergolong lebih ramah. Dia masih punya cukup teman di sekolah
dan dia juga punya satu atau dua sahabat dekat yang mau membantunya untuk
sekedar membuat PR atau berkelahi.
Kakak kembarnya orang yang
tertutup. Dia hampir tidak pernah keluar kamarnya. Dia belajar home-schooling
dan hanya berinteraksi dengan sedikit sekali makhluk hidup kecuali kegelapan
dan kecoak. Meskipun demikian, kedua orang tuanya selalu menganggap kakaknya
baik-baik saja. Ibunya tidak memarahi kakaknya ketika dia tidak keluar kamar.
Mereka bahkan tidak memaksanya memotong rambut atau berpakaian rapi.
Sé berbalik membelakangi konter.
Ia memandang ibunya dengan tatapan kosong yang biasa dan ibunya masih terus
berbicara panjang lebar tanpa sedetik pun berhenti merajut sweater bergambar ikan.
“...itu sebabnya kau yang
harus menemani kami ke acara Pak Poe nanti malam. Ayahmu akan menjemput kita
jam tiga dan kau harus segera berangkat sekolah,” tutup ibunya.
Sé mengangguk patuh. Dia
menyandang ranselnya dengan malas lalu mengecup pipi kiri ibunya yang berhenti
sejenak dari kegiatannya.
“Gunting rambutmu!”
perintah ibunya ketika Sé berlari keluar dari pintu depan.
Sé tidak menjawab tetapi
membunyikan bel sepedanya sekali. Ia kemudian meluncur cepat menuruni lembah
Anville yang masih cukup sepi. Dia sudah hampir terlambat.
+++++
Sé benar-benar memotong pendek
rambutnya ketika pulang ke rumah. Wajahnya terlihat lebih runcing dengan rambut
pendek tipis yang tidak lagi menutupi pelipisnya. Sé sebenarnya menyukai
rambutnya yang baru tetapi anak-anak perempuan di sekolah memanggilnya Si
Culun. Ia benci di panggil Si Culun.
Ayahnya datang beberapa
menit sebelum jam tiga. Dia adalah laki-laki berbadan bundar dan berkulit agak
gelap. Banyak yang bilang, Sé tidak mirip dengan ayahnya.
“Mana ibumu?”
“Di dalam,” jawab Sé.
“Kau harus bersikap lebih
ramah. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Orang besar—Pak Poe—punya
banyak kenalan hebat,” jelas ayahnya bahkan ketika Sé tidak menanyakan apa-apa.
“Kau lebih baik diam saja dan makan dengan tenang. Salah-salah bicara, bisa
saja dia mencabut kembali investasinya.”
“Kenapa tidak tinggalkan
saja aku di rumah?” tanya Sé sambil memperbaiki posisi dasinya yang miring. “Akan
lebih aman jika aku tidak ikut, ya kan?”
“Ibumu memaksaku
membawamu,” balas ayahnya jujur. “Dia bilang, sedikit sosialisasi bisa
membuatmu lebih dewasa.”
“Kenapa tidak mengajak
kakak saja?” pintas Sé. “Kakak sudah tidak keluar rumah sejak bulan lalu, lho.
Dia lebih butuh sedikit sosial dibanding aku.”
Ayahnya mengangkat bahu
tetapi tidak mengatakan apa-apa karena selang sepersekian detik kemudian ibunya
muncul dengan gaun malam berwarna kuning nenas.
“Kau yang nyetir!”
perintah ibunya.
Sé mengangguk pasrah. Ia
menerima kunci mobil dari ayahnya kemudian bergegas membuka pintu belakang
sedan berwarna hitam mengkilap.
Ayahnya menuntun tangan
ibunya dan mengantarnya ke mobil. “Kau berhasil membuat kami terlihat seperti
pelayanmu,” ucap ayahnya.
Ibunya hanya tersenyum.
+++++
Makan malam di rumah Pak
Poe adalah makan malam yang paling membosankan yang pernah dialami Sé. Ia hanya
menatap kosong—menyaksikan ayahnya dan beberapa orang tamu lain berdiskusi
tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan bonus besar dan ladang gandum.
Ibunya dan istri ke dua Pak Poe sedang membicarakan hal lain yang lebih disukai
perempuan. Mereka kadang-kadang terkikik dan berbisik-bisik seperti tidak ingin
didengar orang lain.
Sé meninggalkan meja makan
dan mendekati konter minuman dekat jendela. Ada cukup banyak tamu di sini dan
tidak satupun yang ia kenal kecuali kalau kalau portrait Dorothea Du
Bois bisa disebut kenalan. Ia sedang meneguk gelas mocktail-nya yang kelima
ketika seseorang pemuda berkulit agak gelap menghampirinya.
“Kau suka di sini?” tanyanya.
“Kau bercanda?” jawab Sé balas
bertanya.
“Atau kau lebih suka di
sana, bersama tua-tua bangka yang datang ke sini hanya karena ingin untung
besar,” sambung pemuda itu sambil menunjuk komplotan bapak-bapak yang sedang
tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan lelucon Pak Poe yang sama sekali tidak
lucu.
“Ayahku ada di sana,”
jawab Sé jujur. “Dia memang ingin untung besar tapi kupikir Pak Poe tidak
bodoh. Dia tidak akan memberikan uangnya untuk sesuatu yang tidak ia inginkan,
ya kan?”
Pemuda itu tersenyum.
“Pak Poe kadang cukup
bodoh kok,” jawabnya. “Dia hanya pasang wajah pintar kalau sedang banyak orang.”
“Bukannya itu wajar?”
balas Sé.
“Tentu saja,” jawab
laki-laki itu sambil menyisir rambutnya dengan jari. “Tidak boleh terlihat
bodoh di hadapan klien adalah hal pertama yang harus dikuasai pebisnis.”
Sé mengangguk setuju.
Mereka berdua sekarang
bersandar ke pagar balkon, membelakangi langit senja yang perlahan-lahan mulai
menghitam. Dia sudah meletakkan gelas mocktailnya ketika seorang pelayan
berbadan buntal mendekatinya. Sekarang tangannya kehilangan aktivitas dan kini
sedang mencari-cari apa yang harus ia lakukan pada kedua lengannya yang bebas.
Mereka berdua bersandar dalam diam selama beberapa menit. Sé baru berniat akan
pergi ketika pemuda yang berdiri di sebelahnya berdehem kecil.
“Aku Jožka,” ucap pemuda
itu akhirnya, “dan kau?”
“Sé.” jawabnya.
“Maaf?” tanya Jožka.
“Sé. Namaku Sé.” ulang Sé.
“Senang bertemu dengan mu,
Sé.” ujar Jožka. “Masih sekolah?”
“Yep.”
“Aku juga. Umurmu?”
“Tujuh belas. Kau?”
“Sama.”
“Kupikir kau lebih tua,”
komentar Sé.
“Kupikir kau yang
lebih tua,” balas Jožka. “Kau tinggal di mana?”
“Anville,” jawab Sé.
“Di mana itu?” tanya Jožka.
“Kau tidak tahu Anville?
Kau berasal dari mana sih?” jawab Sé balik bertanya.
“Aku orang sini kok,”
jawabnya.
“Dan belum pernah ke
Anville?” tanya Sé lagi.
Jožka mengangkat bahu.
“Aku mungkin pernah
ke sana dan melupakannya,” jawabnya enteng seakan-akan itu adalah hal yang
biasa.
“Mungkin?” tanya Sé tidak
percaya.
“Dude. Anville itu di sana,” ucap Sé sambil menunjuk ke arah
selatan. “Kau lihat, lampu warna-warni itu. Itu Anville. Bagaimana mungkin kau
lupa atau tidak tahu Anville itu yang mana?”
Sé menyeringai tidak
percaya. Ia bisa maklum jika orang-orang tidak tahu Rosewood atau Millstone
tapi Anville adalah sebuah pemukiman besar. Pusat perbelanjaan terbesar di
wilayah ini terletak di Anville. Belum lagi Monumen Malaikat yang terkenal dan
Danau Kaki Angsa.
“Sudah berapa lama kau
tinggal di sini?” tanya Sé.
“Hmm, sejak aku punya
ingatan, kurasa,” jawab Jožka datar.
Sé menyeringai lagi.
Seakan-akan dipermainkan dia menatap Jožka dengan pandangan menyelidik.
“Apa maksudmu sejak kau punya
ingatan?” tanya Sé bingung. “Kau dari lahir tinggal di sini? Atau kau pindah ke
sini dari kecil? Atau...”
“Aku tidak tahu,” potong Jožka.
“Yang kuingat, aku memang tinggal di sini dan itu sepertinya sudah cukup lama—kau
tau—seperti selamanya.”
“Jangan ngaco!”
balas Sé terkikik. “Kau pasti sedang mempermainkan aku. Mana ada orang sini
tidak tahu Anville di mana. Kalau pun ada, mereka pasti tidak bersosialisasi
dengan baik atau tidak pernah keluar rumah,” balas Sé sambil memukul bahu Jožka
dengan lembut.
“Tapi aku serius,” ujar Jožka.
“Ku harap aku tahu Anville itu yang mana,” sambungnya.
“Come on! Jangan
mengerjaiku. Aku tahu kau bercanda. Kakak kembarku yang paling malas keluar
rumah saja tahu lebih banyak hal. Dia bahkan tidak punya teman dan tidak bicara
dengan siapapun. Kau benar-benar lucu.”
Jožka tersenyum tetapi
tampak jelas kebingungan dari wajahnya. Sé masih terkikik. Ia menganggap Jožka sangat
lucu. Dia baru sekali bertemu orang seperti Jožka. Mana ada orang sini yang
tidak kenal Anville yang hanya dua setengah mil jaraknya. Nenek-nenek yang
sudah pikun saja bisa tahu kalau Anville itu ada di selatan Benhill.
“Aku benar-benar tidak
bohong,” balas Jožka setelah dua menit berlalu. “Aku benar-benar tinggal di
sini dan aku tidak akan berbohong untuk hal seperti ini.”
“Aku tahu,” jawab Sé. “Aku
juga tidak bisa berbohong tetapi kau sangat lucu.”
“Sama sekali tidak lucu,”
bantah Jožka yang kemudian di sambut oleh tawa Sé yang mulai terdengar seperti
dengusan.
Jožka tidak marah ketika Sé
menertawakannya. Jožka malah memilih ikutan tertawa karena barang kali
situasinya juga sedikit lucu. Sé tertawa hingga matanya memerah dan suaranya
yang serak mulai menjadi lebih serak.
Mereka berdua pindah dari
balkon ketika ada sepasang tamu yang mabuk mulai bercumbu di dekat mereka. Jožka
mengajak Sé ke halaman samping menjauhi bapak-bapak berbadan buntal yang sibuk
dengan lelucon tentang lapangan golf dan beberapa orang remaja perempuan yang
berbisik-bisik sambil tersenyum malu ketika mereka berdua lewat.
“Di sana sangat bising,” jelas
Jožka. “Aku tidak terlalu suka keramaian. Kau tidak keberatan, kan, kita duduk
di sini?”
“Sama sekali tidak,” jawab
Sé.
Dia sudah cukup senang
bertemu seseorang yang bisa diajak bicara. Sé sering menemani ayah dan ibunya
pergi ke pesta atau sekedar undangan makan malam di restoran keluarga. Dia
biasanya hanya melahap makanan dalam diam dan kemudian menunggu hingga ayah
atau ibunya selesai membicarakan bisnis, gosip, lelucon, kontrak, atau apapun
itu. Bertemu dengan Jožka di sini membuat penantiannya tidak terlalu
membosankan. Lagi pula ayah dan ibunya tidak akan selesai sebelum tengah malam
kalau pesta makan malamnya semeriah ini.
Mereka duduk di sebuah
kursi taman kayu yang menghadap lurus ke sebuah kolam kecil. Jožka melepas
sepatunya. Ia mencelupkan kedua kaki ke kolam—membiarkan ikan kecil berwarna orange
dan putih bermain-main di dekatnya. Sé tidak suka bermain air. Dia hanya duduk
di kursi taman memandang jauh ke ujung kolam. Remaja perempuan yang tadi
berbisik-bisik sudah dua kali mondar-mandir di sisi lain kolam.
“Siapa
nama kembaranmu?” tanya Jožka setelah sunyi selama delapan menit, delapan
detik.
____________________________________________________________________________________________
PS: Cloud9 is a temporary title. I'll get the new official title later. The story will be written both in Bahasa Indonesia and English.
PS2: Every main character in this saga will have their own chapters. Some characters will telling the story in backward. So you have to read the title for every chapter. Minus (-) sign means the story will be in backward.